Jualan di Kaki Lima, Bubur Ayam Palapa Laku Hingga 600 Mangkuk Tiap Hari |
Hampir setiap pagi bubur ayam Palapa Raya di Jalan Raya Palapa, Kompleks Pertanian, Jatipadang Pasar Minggu selalu dipenuhi oleh para pelanggan. Mereka datang silih berganti, bahkan bangku-bangku yang tersedia jarang terlihat kosong.
Meski jualannya di kaki lima, namun karena selain rasanya enak, harganya juga tergolong murah, maka rejeki pun terus datang.
Adalah pasangan Darko (52) dan Nur Baity (50) sang empunya gerobak bubur ayam tersebut. Sang suami, Darko bertugas mengambil bubur dari panci ke mangkok serta meracik bumbu-bumbu, sedangkan Nur Baity bersama enam anak buah mereka bertugas menyajikan ke para pelanggan.
Darko mengakui, selain murah dan rasanya yang cukup enak, posisi di pinggir lapangan juga cukup strategis, saat pagi banyal orang yang berolah raga dan santai. Setelah itu mereka memilih sarapan yang mudah dan cepat masuk mulut, bubur.
Berdasarkan cerita keduanya, meski hanya buka pada pukul 05.30 hingga 09.30 pagi, dagangan mereka hampir selalu habis. Tak kurang dari 300 mangkuk bubur ayam, 500 tusuk sate usus dan sate telur burung puyuh ludes dalam sehari.
Itu beda lagi dengan saat weekend. "Kalau hari Sabtu dan Minggu bisa sampai 500-600 mangkuk," ujarnya saat ditemui akhir pekan lalu.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, Darko harus memasak sebanyak 10 liter hingga 18 liter beras dan 20 ekor ayam.
Bila dihitung-hitung secara kasar, dengan harga bubur per mangkuk yang sebesar Rp 11.000 dan sate usus/telur puyuh, tiap harinya omset mereka bisa mencapai minimal Rp 3,5 juta. Dan bila diperkirakan mereka mengambil keuntungan sebanyal 50 persen, maka Rp 1,75 juta sudah di tangan. "Ya sekitar segitulah," kata Nurbaity sambil tersenyum.
Dengan penghasilan seperti itu, tak heran bila pasangan asal Pemalang, Jawa Tengah tersebut kini memeiliki sejumlah properti di Jakarta yang juga disewakan untuk menghasilkan rupiah lainnya untuk menghidupi tiga anak mereka secara berkecukupan.
Meski demikian, jelas wanita asal Petarukan, Pemalang, itu, butuh perjuangan hingga bisa mencapai seperti yang sekarang.
Nur Baity pun menceritakan perjalanan sang suami, merantau ke Jakarta pada akhir tahun 80-an, Darko mengawali pekerjaan sebagai karyawan perusahaan kontraktor. Akan tetapi karena jiwanya yang kurang cocok, maka ia memutuskan keluar dan bergabung dengan sang paman berdagang bubur ayam.
Selama bergabung dengan sang paman, ia mempelajari cara meracik bumbu dan memasak bubur dengan rasa yang gurih, sedap serta tidak berair.
Pada pertengahan 1990-an setelah menikah, Nur Baity pun turut bergabung membantu sang suami. Merasa cukup dapat ilmu, mereka pun mulai mandiri dengan membuka gerobak sendiri.
"Tadinya di tempat lain, pada tahun 2000 hingga sekarang kami sudah dapat tempat di Jl Palapa Raya," ujarnya.
Ia juga menjelaskan, rahasia hingga rasa bubur ayam mereka tetap disukai oleh pelanggan karena mutunya tetap terjaga. Untuk buburnya, jelasnya, ada racikan tersendiri yaitu tiga jenis beras yang kualitas terbaik. Pertama beras biasa, beras pera dan beras ketan.
"Bila komposisinya tepat dan bumbu-bumbunya pas, maka akan enak,
No comments:
Post a Comment